LAPORAN KASUS: SUATU KASUS TERDUGA NEUROSISTISERKOSIS DENGAN GAMBARAN SISTISERKUS MULTISTADIUM PADA SEORANG LAKI-LAKI DARI PAPUA, INDONESIA

CASE REPORT: A SUSPECTED NEURCYSTICERCOSIS CASE WITH MULTI-STAGE CYSTICERCUS IN A MALE FROM PAPUA, INDONESIA

Penulis

  • Kennytha Yoesdyanto Resident, Neurology Program
  • Jeffrey James Suatan Resident, Neurology Program
  • Junita Maja Pertiwi Staff, Neurobehavior & Neurorestorative Division
  • Rizal Tumewah Staff, Movement Disorder Division
  • Roosje C. Kotambunan Staff, Neuroinfection, Neuroimmunology, and Neuro-AIDS Division. Neurology Department Faculty of Medicine Universitas Sam Ratulangi/R.D. Kandou Hospital Manado, Indonesia
  • Arthur H.P. Mawuntu Staff, Neuroinfection, Neuroimmunology, and Neuro-AIDS Division. Neurology Department Faculty of Medicine Universitas Sam Ratulangi/R.D. Kandou Hospital Manado, Indonesia

Kata Kunci:

Neurocysticercosis

Abstrak

Pendahuluan: Neurosistiserkosis merupakan infeksi parasitik susunan saraf pusat akibat parasit Taenia solium. Meskipun sudah jarang ditemukan di Manado tetapi kasusnya pada pendatang dari daerah endemik harus selalu dipertimbangkan. Penatalaksanaan neurosistiserkosis harus dilakukan secara berhati-hati, terutama pemberian antelmentik, karena dapat menyebabkan perburukan klinis. Laporan Kasus: Seorang laki-laki, berusia 22 tahun, berasal dari Papua, datang ke klinik kami dengan keluhan kejang fokal yang terjadi sejak satu tahun yang lalu dan terakhir dirasakan satu bulan lalu. Pasien memiliki riwayat kebiasaan memakan daging babi yang kurang matang. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada pemeriksaan neurobehavior didapatkan gangguan lobus frontalis. Pemeriksaan CT scan kepala memperlihatkan gambaran yang sugestif neurosistiserkosis multistadium. Dibuat diagnosis probabel neurosistiserkosis. Pasien diberikan albendazol 200mg per 12 jam dan fenitoin 100mg per 12 jam. Selama satu bulan pengobatan tidak ditemukan demam, kejang, dan nyeri kepala. Namun demikian pemeriksaan neurobehaviour kontrol tetap menunjukkan gangguan lobus frontalis. Diskusi: Bangkitan dan gangguan fungsi luhur menjadi manifestasi klinis neurosistiserkosis pada pasien ini. Hasil pencitraan menunjukkan lesi yang sugestif neurosistiserkosis tetapi diagnosis definit tidak bisa ditegakkan. Pemberian antelmentik masih menjadi kontroversi, termasuk pada kasus ini, yang menunjukkan gambaran multistadium. Namun demikian, pemberian antelmentik pada pasien tidak memperlihatkan perburukan hingga satu bulan setelah terapi. Kesimpulan: Pada pasien yang memiliki pencitraan neurologis dan gambaran klinis yang sesuai disertai adanya faktor risiko, diagnosis neurosistiserkosis perlu dipikirkan terlebih dahulu karena keterbatasan fasilitas diagnostik. Pada neurosistiserkosis multistadium dapat diberikan terapi antelmentik dengan memperhatikan risiko perburukan klinis.

Kata kunci: Neurosistiserkosis.

Diterbitkan

2020-05-11